Syukur
Syukur adalah memuji sang pemberi nikmat atas kebaikan yang telah ia kuasakan kepada anda.
Syukur seorang hamba itu terdiri atas tiga rukun – dan ketiga-tiganya harus ada. Yaitu;
- Secara batin mengakui nikmat.
- Secara lahir membicarakannya.
- Menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepad Allah‘Azza wa Jalla.
Jadi, syukur itu berkaitan dengan hati,
lisan dan anggota badan sekaligus. Hati untuk ma’rifal dan mahabbah.
Lisan untuk memuji. Anggota badan untuk menggunakannya dalam menaati
Allah dan mencegah dari bermaksiat kepada-Nya.
Allah ‘Azza wa Jalla telah
menyebut syukur dan iman secara beruntun. Dia menyatakan, tidaklah
perlu mengadzab makhluk, jika mereka bersyukur dan beriman.
مَايَفْعَلُ اللهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَءَامَنتُمْ
“Mengapa Allah mengadzab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman.” (Qs. An-Nisa: 147)
Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan bahwa di antara hamba-hamba-Nya, yang berhak atas karunia-Nya adalah mereka yang pandai bersyukur.
وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ
لِيَقُولُوا أَهَؤُلآءِ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِم مِّن بَيْنِنَآ أَلَيْسَ
اللهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
“Dan demikianlah Kami uji sebagian
mereka dengan yang lain, supaya mereka berkata, ‘Apakah mereka
orang-orang yang diberi karunia oleh Allah di antara kami?’ Bukankah
Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Al-An’am: 53)
Allah ‘Azza wa Jalla membagi
manusia menjadi dua; syakuur (yang bersyukur) dan kaafuur (yang
kufur). Hal yang paling dimurkai oleh-Nya adalah kekafiran dan
orang-orang kafir. Sedangkan, hal yang paling dicintai oleh-Nya adalah
kesyukuran dan orang-orang yang pandai bersyukur.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sungguh telah Kami tunjukkan kepadanya jalan itu. Adakalanya ia bersyukur dan adakalanya ia kufur.” (Qs. Al-Insan: 3)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah ketika Rabb-mu
memberitahukan, jika kalian bersyukur niscaya Aku akan tambah bagi
kalian. Dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku itu amatlah
berat.” (Qs. Ibrahim: 7)
Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan
tambahan (rezeki), tergantung kepada kesyukuran. Dan tambahan dari-Nya
adalah tambahan yang tiada batas, sebagaimana syukur itu sendiri juga
tiada batas. Allah ‘Azza wa Jalla juga menjadikan banyak pahala
bergantung kepada kehendak-Nya. Seperti,
فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَآءَ
“Maka, pastilah Allah akan menjadikan kalian kaya dengan karunia-Nya, jika Dia menghendaki.” (Qs. At-Taubah: 28)
وَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ
“Dan Allah memberikan ampunan bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Maidah: 40)
وَيَتُوبَ اللهُ عَلَى مَن يَشَآءُ
“Dan Allah menerima taubat dari siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. At-Taubah: 15)
Allah ‘Azza wa Jallamenjadikan balasan syukur tanpa pembatasan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
“Dan Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Qs. Ali-Imran: 145)
Tatkala Iblis mengerti nilai syukur
sebagai kedudukan tertinggi dan termulia, maka ia pun mencanangkan
tujuan akhirnya, yaitu menjauhkan manusia dari bersyukur.
ثُمَّ لاَتِيَنَّهُم مِّنْ بَيْنِ
أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ
شَمَآئِلِهِمْ وَلاَتَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Lalu aku akan mendatangi mereka dari
depan, dari belakang, dari samping kanan, dan dari samping kiri.
Sehingga Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Qs. Al-Araf: 17)
Allah ‘Azza wa Jalla pun menyebutkan bahwa orang-orang yang bersyukur itu sedikit.
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit saja dari hamba-hambKu yang pandai bersyukur.” (Qs. Saba’: 13)
Termuat dalam Shahih Bukhari dan, bahwa
Nabi bangun malam sampai pecah-pecah kedua (telapak) kaki beliau.
Ditanyakan kepada beliau, “Engkau melakukan semua ini, padahal Allah
telah mengampuni semua dosamu baik yang sudah maupun yang akan
berlalu?” Beliau menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang
pandai bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kepada Mu’adz Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَ اللهِ إِنِّي لأُحِبُّكَ فَلاَ تَنْسَ
أَنْ تَقُوْلَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ: اللّهُمَّ أَعِنِّي عَلي ذِكْرِكَ
,َشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Demi Allah, aku benar-benar
mencintaimu. Maka, di setiap penghujung shalat janganlah kamu lupa
membaca (artinya), ‘Ya Allah, tolonglah aku agar selalu ingat
kepada-Mu, mensyukuri-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.’” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Adz-Dzahabi)
Syukur adalah pengikat nikmat dan
penyebab bertambahnya nikmat tersebut. Umar bin Abdul Aziz berkata,
“Ikatlah nikmat-nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dengan bersyukur
kepada-Nya.”
Ibnu Abu Dunya meriwayatkan, kepada
seorang laki-laki dari Hamadzan, Ali bin Abi Thalib berkata,
“Sesungguhnya nikmat itu berhubungan dengan syukur. Sedangkan syukur
itu berkaitan dengan maziid (penambahan nikmat). Keduanya tidak bisa
dipisahkan. Maka mazid dari Allah tidak akan terputus sampai
terputusnya syukur dari hamba”.
Hasan Al-Bashri berujar, “Perbanyaklah
menyebut nikmat-nikmat Allah. Sesungguhnya itu adalah kesyukuran.
Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menceritakan nikmat Rabbnya.
Dia berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah!” (Qs. Adh-Dhuha: 11)
Allah‘Azza wa Jalla menyukai terlihatnya bekas-bekas nikmat-Nya kepada seorang hamba. Itu adalah syukur dalam wujud perbuatan.
Adalah Abu Al-Mughirah, jika ditanya
tentang kabarnya, menjawab, “Pagi ini, kita tenggelam di dalam nikmat,
tetapi lemah di dalam bersyukur. Rabb kita menampakkan cinta-Nya
kepada kita, padahal Dia tidak membutuhkan kita. Sedangkan kita
menampakkan kebencian kepada-Nya, padahal kita sangat
membutuhkan-Nya.”
Syuraih berujar, “Setiap kali seorang hamba ditimpa suatu musibah, pasti di sana ada tiga nikmat Allah ‘Azza wa Jalla.
Musibah itu tidak berkenaan dengan diin-nya, musibah itu tidak lebih
berat daripada yang terjadi, dan musibah itu pasti akan terjadi lalu
telah terjadi.”
Yunus bin Ubaid menceritakan seseorang telah bertanya kepada Abu Ghanimah, “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab, “Pagi ini aku dalam keadaan mendapat dua nikmat yang aku tidak tahu mana yang lebih baik. Yaitu dosa-dosa yang Allah tutupi sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menelanjangiku karenanya, serta kecintaan yang Allah semaikan di dalam hati manusia yang tidak akan mampu dicapai oleh amal-amaku.”
Yunus bin Ubaid menceritakan seseorang telah bertanya kepada Abu Ghanimah, “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab, “Pagi ini aku dalam keadaan mendapat dua nikmat yang aku tidak tahu mana yang lebih baik. Yaitu dosa-dosa yang Allah tutupi sehingga tidak ada seorang pun yang mampu menelanjangiku karenanya, serta kecintaan yang Allah semaikan di dalam hati manusia yang tidak akan mampu dicapai oleh amal-amaku.”
Dalam mengomentari ayat:
سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لاَيَعْلَمُونَ
“Akan Kami beri istidraaj (ujian) kepada mereka dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-A’raf: 182)
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Mereka
diliputi oleh kenikmatan dan terhalangi dari bersyukur.” Banyak juga
yang menafsirkan, “Setiap kali mereka berbuat dosa, setiap kali itu
pula mereka diberi nikmat.”
Seseorang bertanya kepada Abu Hazim.
“Apakah syukurnya dua mata itu, wahai Abu Hazim?” Ia menjawab, “Jika
kamu melihat kebaikan sebarkanlah, dan jika kamu melihat keburukan
tutupilah!”
Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana
syukurnya dua telinga?” Abu Hazim menjawab, “Jika kamu mendengar
kebaikan peliharalah, dan jika kamu mendengar keburukan cegahlah!”
Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana
syukurnya dua tangan?” Abu Hazim menjawab, “Jangan kamu gunakan ia
untuk mengambil barang yang bukan haknya! Juga penuhilah hak Allah
yang ada pada keduanya!”
Orang itu bertanya lagi, “Lalu bagaimana
syukurnya perut?” Abu Hazim menjawab, “Hendaknya makanan ada di bagian
bawah, sedangkan yang atas dipenuhi dengan ilmu!”
Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana syukurnya kemaluan?” ia menjawab dengan membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
5. إِلاَّعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ 6. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَآءَ ذَلِكَ
فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ .7
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluan mereka. Kecuali kepada istri-istri mereka atau hamba sahaya
yang mereka miliki. Maka mereka tidaklah tercela. Dan barangsiapa
mencari selain itu semua, merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Mukminun: 5-7)
Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana
syukurnya dua kaki?” Ia menjawab, “Jika kamu melihat seseorang yang
shalih meninggal, segera teladani amalannya. Dan jika mayit itu orang
yang tidak baik, segera jauhi amal-amal yang dia kerjakan, kamu
bersyukur kepada Allah! Sesungguhnya orang yang hanya bersyukur dengan
lisannya itu seperti seseorang yang memiliki pakaian tetapi ia hanya
memegang ujungnya, tidak memakainya. Maka ia pun tidak terlindungi
dari panas, dingin, salju dan hujan.”
Beberapa ulama menulis surat kepada
saudaranya. “Pagi ini kami diberi nikmat oleh Allah yang tidak
terhingga, padahal kami banyak bermaksiat kepadanya. Kami tidak tahu
terhadap yang mana kami harus bersyukur; terhadap keindahan yang
dimudahkan ataukah terhadap dosa-dosa yang ditutupi?”
Sumber: Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab al-Hambali, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Imam al-Ghazali, Pustaka Arafah
Dipublikasikan oleh: www.pengusahamuslim.com
Dipublikasikan oleh: www.pengusahamuslim.com
————————————————————————
Di antara sebab-sebab kurangnya rasa Syukur adalah:
Sebab pertama: Lalai dari nikmat Alloh.
Sesungguhnya banyak manusia yang hidup
dalam kenikmatan yang besar, baik nikmat yang umum maupun khusus. Akan
tetapi dia lalai darinya. Dia tidak mengetahui bahwa dia hidup dalam
kenikmatan. Itu karena dia telah terbiasa dengannya dan tumbuh
berkembang padanya. Dan dalam hidupnya, dia tidak pernah mendapatkan
selain kenikmatan. Sehingga dia menyangka bahwa perkara (hidup) ini
memang seperti itu saja. Seorang manusia jika tidak mengenal dan
merasakan kenikmatan, bagaimana mungkin dia mensyukurinya? Karena
syukur, dibangun di atas pengetahuan terhadap nikmat, mengingatnya dan
memahami bahwa itu adalah nikmat pemberian Alloh kepadanya.
Sebagian salaf berkata, “Nikmat dari Alloh untuk hambaNya adalah sesuatu
yang majhulah (tidak diketahui). Jika nikmat itu hilang barulah dia
diketahui.” [Robii’ul Abror 4/325]
Sesungguhnya banyak manusia di zaman kita ini senantiasa berada dalam
kenikmatan Alloh, mereka memenuhi perut mereka dengan berbagai makanan
dan minuman, memakai pakaian yang paling indah, bertutupkan selimut yang
paling baik, menunggangi kendaraan yang paling bagus, kemudian mereka
berlalu untuk urusan mereka tanpa mengingat-ingat nikmat dan tidak
mengetahui hak bagi Alloh. Maka mereka seperti binatang, mulutnya
menyela-nyela tempat makanan, lalu jika telah kenyang dia pun berlalu
darinya. Dan semacam ini pantas bagi binatang.
Jika kenikmatan telah menjadi banyak dengan mengalirnya kebaikan secara
terus-menerus dan bermacam-macam, manusia akan lalai dari orang-orang
yang tidak mendapatkan nikmat itu. Dia menyangka bahwa orang lain
seperti dia, sehingga tidak muncul rasa syukur kepada Pemberi nikmat.
Oleh karena itu, Alloh memerintahkan hambaNya untuk mengingat-ingat
nikmatNya atas mereka – sebagaimana telah dijelaskan. Karena
mengingat-ingat nikmat akan mendorong seseorang untuk mensyukurinya.
Alloh berfirman,
وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ
“Dan ingatlah nikmat Alloh padamu, dan apa yang telah diturunkan Alloh kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Alloh memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkanNya itu.” (al-Baqarah: 231)
وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ
“Dan ingatlah nikmat Alloh padamu, dan apa yang telah diturunkan Alloh kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Alloh memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkanNya itu.” (al-Baqarah: 231)
Sebab kedua: Kebodohan terhadap hakikat nikmat
Sebagian orang tidak mengetahui nikmat, tidak mengenal dan tidak memahami hakikat nikmat. Dia tidak tahu bahwa dirinya berada dalam kenikmatan, karena dia tidak mengetahui hakikat nikmat. Bahkan mungkin dia memandang pemberian nikmat Alloh kepadanya sangat sedikit sehingga tidak pantas untuk dikatakan sebagai kenikmatan. Maka orang yang tidak mengetahui nikmat, bahkan bodoh terhadapnya, tidak akan bisa mensyukurinya.
Sebagian orang tidak mengetahui nikmat, tidak mengenal dan tidak memahami hakikat nikmat. Dia tidak tahu bahwa dirinya berada dalam kenikmatan, karena dia tidak mengetahui hakikat nikmat. Bahkan mungkin dia memandang pemberian nikmat Alloh kepadanya sangat sedikit sehingga tidak pantas untuk dikatakan sebagai kenikmatan. Maka orang yang tidak mengetahui nikmat, bahkan bodoh terhadapnya, tidak akan bisa mensyukurinya.
Sesungguhnya ada sebagian manusia yang jika melihat suatu kenikmatan
diberikan kepadanya dan juga kepada orang lain, bukan kekhususan
untuknya, maka dia tidak bersyukur kepada Alloh. Karena dia memandang
dirinya tidak berada dalam suatu kenikmatan selama orang lain juga
berada pada kenikmatan tersebut. Sehingga banyak orang yang berpaling
dari mensyukuri nikmat Alloh yang sangat besar pada dirinya yang berupa
anggota badan dan indera, dan juga nikmat Alloh yang sangat besar pada
alam semesta ini.
Ambilah sebagai contoh, nikmatnya penglihatan. Ini merupakan nikmat Alloh yang sangat agung yang banyak dilalaikan oleh manusia. Siapakah yang mengetahui kenikmatan ini, memperhatikan haknya dan menyukurinya? Alangkah sedikitnya mereka itu.
Ambilah sebagai contoh, nikmatnya penglihatan. Ini merupakan nikmat Alloh yang sangat agung yang banyak dilalaikan oleh manusia. Siapakah yang mengetahui kenikmatan ini, memperhatikan haknya dan menyukurinya? Alangkah sedikitnya mereka itu.
Seandainya seseorang mengalami kebutaan, lalu Alloh mengembalikan
penglihatannya dengan suatu sebab yang Alloh takdirkan, apakah dia akan
memandang penglihatannya pada keadaan yang kedua ini sebagaimana
kelalaiannya terhadap yang pertama? Tentu tidak, karena dia telah
mengetahui nilai kenikmatan ini setelah dia kehilangan nikmat tersebut.
Maka orang ini mungkin akan bersyukur kepada Alloh atas nikmat
penglihatan ini, akan tetapi dengan cepat dia akan melupakannya. Dan ini
adalah puncak kebodohan, karena rasa syukurnya bergantung kepada
hilang dan kembalinya nikmat tersebut. Padahal sesuatu (kenikmatan)
yang langgeng lebih berhak disyukuri daripada (kenikmatan) yang
kadang-kadang terputus. [Lihat Mukhtashor Minhajil Qoshidin, hlm 288]
Sebab ketiga: Pandangan sebagian manusia kepada orang yang berada di atasnya
Jika seorang manusia melihat kepada orang yang diatasnya, yaitu orang-orang yang diberi kelebihan atasnya, dia akan meremehkan karunia yang Alloh berikan kepadanya. Sehingga dia pun kurang dalam melaksanakan kewajiban syukur. Karena dia melihat bahwa apa yang diberikan kepadanya adalah sedikit, sehingga dia meminta tambahan untuk bisa menyusul atau mendekati orang yang berada diatasnya. Dan ini ada pada kebanyakan manusia. Hatinya sibuk dan badannya letih dalam berusaha untuk menyusul orang-orang yang telah diberi kelebihan atasnya berupa harta dunia. Sehingga keinginannya hanyalah untuk mengumpulkan dunia. Dia lalai dari bersyukur dan melaksanakan kewajiban ibadah, yang sebenarnya dia diciptakan untuk hal tersebut (ibadah).
Jika seorang manusia melihat kepada orang yang diatasnya, yaitu orang-orang yang diberi kelebihan atasnya, dia akan meremehkan karunia yang Alloh berikan kepadanya. Sehingga dia pun kurang dalam melaksanakan kewajiban syukur. Karena dia melihat bahwa apa yang diberikan kepadanya adalah sedikit, sehingga dia meminta tambahan untuk bisa menyusul atau mendekati orang yang berada diatasnya. Dan ini ada pada kebanyakan manusia. Hatinya sibuk dan badannya letih dalam berusaha untuk menyusul orang-orang yang telah diberi kelebihan atasnya berupa harta dunia. Sehingga keinginannya hanyalah untuk mengumpulkan dunia. Dia lalai dari bersyukur dan melaksanakan kewajiban ibadah, yang sebenarnya dia diciptakan untuk hal tersebut (ibadah).
Telah datang suatu hadits dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلىَ مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فيِ الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلىَ مَن هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan atasnya dalam masalah harta dan penciptaan, hendaknya dia melihat kepada orang yang lebih rendah darinya, yang dia telah diberi kelebihan atasnya.” [Riwayat Muslim (2963) dan lihat Jami’ul Ushul (10/142)]
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلىَ مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فيِ الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلىَ مَن هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang diberi kelebihan atasnya dalam masalah harta dan penciptaan, hendaknya dia melihat kepada orang yang lebih rendah darinya, yang dia telah diberi kelebihan atasnya.” [Riwayat Muslim (2963) dan lihat Jami’ul Ushul (10/142)]
Sebab keempat: Melupakan masa lalu
Di antara manusia ada yang pernah melewati kehidupan yang menyusahkan dan sempit. Dia hidup pada masa-masa yang menegangkan dan penuh rasa takut, baik dalam masalah harta, penghidupan atau tempat tinggal. Dan tatkala Alloh memberikan kenikmatan dan karunia kepadanya, dia enggan untuk membandingkan antara masa lalunya dengan kehidupannya sekarang agar menjadi jelas baginya karunia Robb atasnya. Barangkali hal itu akan membantunya untuk mensyukuri nikmat-nikmat itu. Akan tetapi dia telah tenggelam dalam nikmat-nikmat Alloh yang sekarang dan telah melupakan keadaannya terdahulu. Oleh karena itu engkau lihat banyak orang yang telah hidup dalam kemiskinan pada masa-masanya yang telah lalu, namun mereka kurang bersyukur dengan keadaan mereka yang engkau lihat sekarang ini.
Di antara manusia ada yang pernah melewati kehidupan yang menyusahkan dan sempit. Dia hidup pada masa-masa yang menegangkan dan penuh rasa takut, baik dalam masalah harta, penghidupan atau tempat tinggal. Dan tatkala Alloh memberikan kenikmatan dan karunia kepadanya, dia enggan untuk membandingkan antara masa lalunya dengan kehidupannya sekarang agar menjadi jelas baginya karunia Robb atasnya. Barangkali hal itu akan membantunya untuk mensyukuri nikmat-nikmat itu. Akan tetapi dia telah tenggelam dalam nikmat-nikmat Alloh yang sekarang dan telah melupakan keadaannya terdahulu. Oleh karena itu engkau lihat banyak orang yang telah hidup dalam kemiskinan pada masa-masanya yang telah lalu, namun mereka kurang bersyukur dengan keadaan mereka yang engkau lihat sekarang ini.
Setiap manusia wajib untuk mengambil pelajaran dari kisah yang ada dalam
hadits shohih [Hadits panjang dari Abu Huroiroh, “Sesungguhnya ada
tiga orang dari kalangan Bani Isroil, orang yang punya penyakit kusta,
orang yang botak dan orang yang buta…” diriwayatkan oleh al-Bukhori
(3277) dan Muslim (2946)] (yang maknanya),
Sesungguhnya ada tiga orang dari kalangan Bani Isroil yang ingin Alloh uji. Mereka adalah orang yang punya penyakit kusta, orang yang botak dan orang yang buta. Maka ujian itu menampakkan hakikat mereka yang telah Alloh ketahui sebelum menciptakan mereka. Adapun orang yang buta, maka dia mengakui pemberian nikmat Alloh kepadanya, mengakui bahwa dahulu dia adalah seorang yang buta lagi miskin, lalu Alloh memberikan penglihatan dan kekayaan kepadanya. Dia pun memberikan apa yang diminta oleh pengemis, sebagai bentuk syukur kepada Alloh. Adapun orang yang botak dan orang yang berpenyakit kusta, mereka mengingkari kemiskinan dan buruknya keadaan mereka sebelum itu. Keduanya berkata tentang kekayaan itu, ‘Sesungguhnya aku mendapatkannya dari keturunan.’
Sesungguhnya ada tiga orang dari kalangan Bani Isroil yang ingin Alloh uji. Mereka adalah orang yang punya penyakit kusta, orang yang botak dan orang yang buta. Maka ujian itu menampakkan hakikat mereka yang telah Alloh ketahui sebelum menciptakan mereka. Adapun orang yang buta, maka dia mengakui pemberian nikmat Alloh kepadanya, mengakui bahwa dahulu dia adalah seorang yang buta lagi miskin, lalu Alloh memberikan penglihatan dan kekayaan kepadanya. Dia pun memberikan apa yang diminta oleh pengemis, sebagai bentuk syukur kepada Alloh. Adapun orang yang botak dan orang yang berpenyakit kusta, mereka mengingkari kemiskinan dan buruknya keadaan mereka sebelum itu. Keduanya berkata tentang kekayaan itu, ‘Sesungguhnya aku mendapatkannya dari keturunan.’
Inilah keadaan kebanyakan manusia. Tidak mengakui keadaannya terdahulu
berupa kekurangan, kebodohan, kemiskinan dan dosa-dosa, (tidak mengakui)
bahwasanya Alloh lah yang memindahkan dia dari keadaannya semula
kepada kebalikannya, dan memberikan kenikmatan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar